TOKOH
GERAKAN HIDUP SEDERHANA
Ia datang ke Mekah terhuyung-huyung
letih tetapi matanya bersinar bahagia…..Memang, sulitnya perjalanan dan
panasnya telah menyengat badannya dengan rasa sakit udarapadangpasir dan lelah,
tetapi tujuan yang hendak dicapainya telah meringankan penderitaan dan
meniupkan semangat serta rasa gembira dalam jiwanya.
Ia memasuki kotadengan menyamar
seolah-olah ia seorang yang hendak melakukan thawaf keliling berhala-berhala
besar di Ka’bah atau seolah-olah musafir yang sesat dalam perjalanan atau lebih
tepat orang yang telah menempuh jarak amat jauh, yang merlukan istirahat
dan manambah perbekalan.
Padahal seandainya orang-orang Mekah
mengetahui babwa kedatangannya itu untuk menemui Muhammad shallallahu alaihi wasalam
dan mendengar keterangannya, pastilah mereka akan membunuhnya!
Tetapi ia tak perduli akan dibunuh
asal saja setelah melintasipadangpasir luas, ia dapat menjumpai laki-laki yang
dicarinya dan menyatakan iman kepadanya. Kebenaran dan da’wah yang diberikan
Muhammad shallallahu alaihi wasalam dapat memuaskan hatinya.
Ia terus melangkah sambil memasang
telinga, dan setiap didengarnya orang memperkatakan Muhammad shallallahu
alaihi wasalam , ia pun mendekat dan menyimak dengan hati-hati; hingga dari
cerita yang tersebar di sana-sini, diperolehnya petunjuk yang dapat menunjukkan
tempat persembunyian Muhammad shallallahu alaihi wasalam , dan mempertemukannya
dengan beliau.
Di pagi suatu hari ia pergi ke
tempat itu, didapatinya Muhammad shallallahu alaihi wasalam sedang duduk
seorang diri. Didekatinya Rasulullah, katanya: “Selamat pagi wahai kawan
sebangsa!” “Alaikum salam, wahai shahabat”, ujar Rasulullah.
Kata Abu Dzar: “Bacakanlah kepadaku
hasil gubahan anda!” “Ia bukan sya’ir hingga dapat digubah, tetapi adalah Quran
yang mulia!”, Ujar Rasulullah. “Bacakanlah oleh Rasulullah, sedang Abu Dzar
mendengarkan dengan penuh perhatian, hingga tidak berselang lama iapun berseru:
“Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh”.
Anda dari mana, saudara sebangsa?”,
tanya rasulullah. “Dari Ghitar”, ujarnya. Maka terbukalah senyum lebar di kedua
bibir Rasulullah, sementara wajahnja diliputi rasa kagum dan ta’jub. Abu dzar
tersenyum pula, karena ia mengetahui rasa terpendam di balik rasa kagum Rasulullah
demi mendengar bahwa orang yang telah mengaku Islam di hadapannya secara terus
terang itu, seorang laki-laki dari Ghifar.
Ghifar adalah suatu kabilah atau
suku yang tak ada taranya dalam soal menempuh jarak. Mereka jadi tamsil
perbandingan dalam melakukan perjalanan yang luar biasa. Malam yang kelam dan
gelap gulita tak jadi soal bagi mereka, dan celakalah orang yang kesasar atau
jatuh ke tangan kaum Ghifar di waktu malam!
Sekarang, dikala agama Islam yang
baru saja lahir dan berjalan sembunyi-sembunyi, mungkinkah ada diantara
orang-orang Ghifar itu seorang yang sengaja datang untuk masuk Islam?
Berkatalah Abu Dzar dalam menceritakan sendiri kisah itu: “Maka pandangan
Rasulullah pun turun naik, tak putus ta’jub memikirkan tabi’at orang-orang
Ghifar, lalu sabdanya :
” Sesungguhnya Allah memberi
petunjuk kepada yang disukainya…!
Benar, Allah menunjuki,siapa yang Ia
kehendaki ! Abu dzar salah seorang yang, dikehendaki Allah beroleh
petunjuk , orang yang dipilihNya akan mendapat kebaikan
Dan memang, Abu Dzar ini seorang
yang tajam pengamatannya tentang kebenaran. Menurut riwayat, ia termasuk salah
seorang yang menentang pemujaan berhala di zaman jahiliyah, mempunyai
kepercayaan akan Ketuhanan serta iman kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Perkasa,
maka iapun menyiapkan bekal dan segera mengayunkan langkahnya.
Abu Dzar telah masuk Islam tanpa
ditunda-tunda lagi….! urutannya dikalangan Muslimin adalah yang kelima atau
keenam. Jadi ia telah memeluk agam itu pada hari-hari pertama, bahkan pada
saat-saat pertama agama Islam, hingga keIslamannya termasuk dalam barisan
terdepan.
Ketika ia masuk Islam, Rasulullah
masih menyampaikan da’wahnya secara berbisik-bisik. Dibisikkannya kepada Abu
Dzar begitupun kepadalimaorang lainya yang telah iman kepadanya. Dan bagi Abu
Dzar, tak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain memendam keimanan itu
dalam dada, lalu meninggalkankotaMekah secara diam-diam dan kembali kepada
kaumnya.
Tetapi Abu Dzar yang nama aslinya
Jundub bin Janadah, seorang radikal dan revolusioner. Telah menjadi watak dan
tabi’atnya menentang kebathilan dimanapun ia berada. Dan sekarang kebathilan
itu berada dihadapannya serta disaksikannya dengan kedua matanya
sendiri….Batu-batu yang ditembok, yang dibentuk oleh para pemujanya, disembah
oleh orang-orang yang menundukkan kepala dan merendahkan akal mereka, dan
diseru mereka dengan ucapan yang muluk : Inilah kami , kami datang demi
mengikuti titahmu!
memang, ia melihat Rasulullah
memilih cara bisik-bisik pada hari-hari tersebut, tetapi tidak dapat tidak
harus ada suatu teriakan keras yang akan dikumandangkan pemberontak ulung ini
sebelum ia pergi. Baru saja masuk Islam, ia telah menghadapkan pertanyaan
kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah, apa yang saya
kerjakan menurut anda?” “Kembalillah kepada kaummu sampai ada perintahku
nanti!”, ujar Rasulullah. “Demi Tuhan yang menguasai nyawaku”, kata Abu Dzar
pula, “saya takkan kembali sebelum meneriakkan Islam dalam masjid!”
Bukankah telah saya katakan kepada
kalian…..?
Jiwa yang radikal dan revolusioner!
Apakah Abu Dzar pada saat terbukanya alam baru secara gamblang, yang jelas
terlukis pada Rasulullah yang diimaninya, sertada’wah yang uraiannya
disampaikan dengan lisannya…, apakah pada saat seperti itu ia mampu kembali
kepada keluarganya dalam keadaan membisu seribu bahasa ? Sunguh, hal itu diluar
kesanggupan dan kemampuannya!
Abu Dzar pergi menuju masjidil haram
dan menyerukan dengan sekeras-kerasnya suaranya: “Asyhadu Alla ilaaha illallah,
wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. Setahu kita, teriakan ini merupakan
teriakan pertama tentang Agama Islam yang menentang kesombongan orang-orang
Quraisy dan memekakkan telinga mereka…., diserukan oleh seorang perantau asing
yang diMekkah tidak mempunyai bangsa, sanak keluarga maupun pembela. Dan
sebagai akibatnya, ia mendapat perlakuan dari mereka yang sebetulnya telah
dimaklumi akan ditemuinya….
Orang-orang musyrik mengepung dan
memukulnya hingga rubuh.
Berita mengenai peristiwa yang
dialami Abu Dzar itu akhirnya sampai juga kepada paman Nabi, Abbas. Ia segera
mendatangi tempat terjadinya peristiwa tersebut, tapi dirasanya ia tidak dapat
melepaskan Abu Dzar dari cengkeraman mereka kecuali dengan menggunakan
diplomasi halus, maka katanya kepada mereka : “Wahai kaum Quraisy! Anda semua
adalah bangsa pedagang yang mau tak mau akan lewat dikampung Bani Ghifar. Dan
orang ini salah seorang warganya, bila ia bertindak akan dapat menghasut
kaumnya untuk merampok kafilah-kafilahmu nanti!” merekapun sama menyadari hal
itu, lalu pergi meniggalkannya.
Tetapi Abu Dzar yang telah mengenyam
manisnya penderitaan dalam membela Agama Allah, tak hendak meninggalkan Mekkah
sebelum beroleh tambahan dari darma baktinya.
Demikianlah pada hari berikutnya,
tampak olehnya dua orang wanita sedang thawaf keliling berhala-berhala Usaf dan
Na-ilah sambil memohon padanya. Abu Dzar segera berdiri menghadangnya, lalu
dihadapan mereka berhala-berhala itu dihina sejadi-jadinya.
Kedua wanita itu memekik berteriak,
hingga orang-orang gempar dan berdatangan laksana belalang, lalu menghujani Abu
Dzar dengan pukulan hingga tak sadarkan diri. Ketika ia siuman, maka yang
diserunya tiada lain hanyalah “bahwa tiada Tuhan yang haq diibadahi melainkan
Allah, dan bahwa Muhammad itu utusan Allah”.
Maklumlah sudah Rasulullah
shallallahu alaihi wasalam akan watak dan tabi’at murid barunya yang ulung ini
serta keberaniannya yang menakjubkan dalam melawan kebathilan. Hanya sayang
saatnya belum lagi tiba, maka diulanginyalah perintah agar dia pulang, sampai
bila telah didengarnya nanti Islam lahir terang-terangan ia dapat kembali dan
turut mengambil bagian dalam percaturan dan aneka peristiwanya……
Abu Dzar kembali mendapatkan
keluarga serta kaumnya dan menetapkan kepada mereka tentang Nabi yang baru
diutus Allah, -yang menyeru agar mengabdi kepada Allah Yang Maha Esa dan
membimbing mereka supaya berakhlaq mulia. Seorang demi seorang kaumnya masuk
Islam; Bahkan usahanya tidak terbatas pada kaumnya semata, tapi
dilanjutkannya pada,suku lain – yaitu suku Aslam:-di tengah-tengah mereka:
dipancarkan cahaya islam…..
Hari-hari berlalu mengikuti
peredaran , Rasulullah telah hijrah ke Madinah dan menetap disanabersama
Kaum Muslimin. Pada suatu hari, suatu barisan panjang yang, terdiri atas para
pengendara dan pejalan kaki menuju pinggiran kota, meninggalkan kepulan debu
belakang mereka, Kalau bukanlah bunyi suara takbir mereka yang gemuruh tentulah
yang melihat akan menyangka mereka itu suatu pasukan tentara musyrik yang
hendak menyerang kota.
Rombongan besar itu semakin dekat…..
lalu masuk ke dalamkota dan menujukan langkah mereka ke masjid Rasulullah
dan tempat kediamannya.
Ternyata rombongan itu tiada lain
dari kabilah-kabilah Ghifar dan Aslam yang dikerahkan semuanya oleh Abu Dzar
dan tanpa kecuali telah masuk Islam; laki-laki, perempuan, orang tua, remaja
dan anak-anak.
Sudah selayaknyalah Rasulullah
semakin ta’jub dan kagum!
Belum lama berselang, ia ta’jub ada
seorang Iaki-laki dari Ghifar yang menanyakan keislamannya di hadapannya.
Sabdanya menunjukkan keta’juban itu:
“Sungguh Allah memberi hidayah
kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
Maka sekarang yang datang itu adalah
seluruh warga Ghifar yang menyatakan keIslaman mereka. Telah beberapa tahun
lamanya mereka menganut Agama itu, semenjak mereka diberi hidayah Allah di
tangan Abu Dar. Dan ikut pula bersama mereka suku Aslam.
Raksasa garong dan komplotan syetan
telah beralih rupa menjadi raksasa kebajikan dan pendukung kebenaran ! Nah,
tidaklah sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ?
Rasulullah melayangkan pandangannya
kepada wajah-wajah yang berseri-seri, pandangan yang diliputi rasa haru dan
cinta kasih. Sambil menoleh kepada suku Ghifar, ia bersabda:
” Suku Ghifar telah di-ghafar —
diampuni — oleh Allah.”
Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya
” Suku Aslam telah disalam – diterima dengan damai – oleh Allah.”
Kemudian sambil menghadap kepada suku Aslam, sabdanya
” Suku Aslam telah disalam – diterima dengan damai – oleh Allah.”
Dan mengenai Abu Dzar, muballigh
ulung yang berjiwa bebas dan bercita- cita mulia itu, tidakkah Rasulullah akan
menyampaikan ucapan istimewa kepadanya? Tidak pelak lagi, pastilah ganjarannya
tidak terhingga, serta ucapan kepadanya dipenuhi berkah! Dan tentulah pada
dadanya akan tersemat bintang terfinggi, begitu pun riwayat hidupnya akan penuh
dengan medali. Turunan demi turunan serta generasi demi generasi akan berlalu
pergi, tetapi manusia akan selalu mengulang-ulang apa yang disabdakan oleh
Rasulullah saw. mengenai Abu Dzar ini:·
Takhan pernah lagi dijumpai cli
bawah langit ini, orang yang lebih bencrr ucapannya dari Abu Dzar …! Kemudian
pula:
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar …?
Lebih benarkah ucapannya dari Abu Dzar …?
Sungguh, Rasulullah saw. bagai telah
membaca hari depan shahabatnya itu, dan manyimpulkan kesemuanya pada kalimat
tersebut. Kebenaran yang disertai keberanian, itulah prinsip hidup Abu Dzar
secara keseluruhan!
Benar bathinnya, benar pula
lahirnya.
Benar ‘aqidahnya, benar pula ucapannya.
Benar ‘aqidahnya, benar pula ucapannya.
Ia akan menjalani hidupnya secara
benar, tidak akan melakukan kekeliruan. Dan kebenarannya itu bukanlah keutamaan
yang bisu, karena bagi Abu Dzar, kebenaran yang bisu bukanlah
kebenaran! Yang dikatakan benar ialah menyatakan secara terbuka dan terus
terang, yakni menyatakan yang haq dan menentang yang bathil, menyokong yang
betul dan meniadakan yang salah.
Benar itu kecintaan penuh terhadap
yang haq, mengemukakannya secara berani dan melaksanakannya secara terpuji.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Dengan penglihatannya yang tajam, bagai menembus ke alam ghaib yang jauh tidak terjangkau atau samudera yang tidak terselami, Rasulullah saw. menampakkan segala kesusahan yang akan dialami oleh Abu Dzar sebagai akibat dari kebenaran dan ketegasannya. Maka selalu dipesankan kepadanya agar melatih diri dengan keshabaran dan tidak terburu nafsu.
Pada suatu hari Rasulullah
mengemukakan Irepadanya pertanyaan berikut ini:
“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Jawab Abu Dzar: “Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!” Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu….? Ialah bershabar samapai kamu menemuiku ”
“Wahai Abu Dzar, bagaimana pendapatmu bila menjumpai para pembesar yang mengambil barang upeti untuk diri mereka pribadi?” Jawab Abu Dzar: “Demi yang telah mengutus anda dengan kebenaran, akan saya tebas mereka dengan pedangku!” Sabda Rasulullah pula: Maukah kamu aku beri jalan yang lebih baik dari itu….? Ialah bershabar samapai kamu menemuiku ”
Tahukah anda kenapa Rasulullah
mengajukan pertanyaan seperti itu? Itulah persoalan pembesar dan harta …!
Nah itulah persoalan pokok bagi Abu
Dzar dan untuk itu ia harus membaktikan hidupnya, suatu kemusykilan menyangkut
masyarakat ummat dan masa depan yang harus dipecahkannya!
Hal itu telah dimaklumi oleh
Rasululiah, dan itulah sebabnya kepada beliau mengajukan pertanyaan seperti
demikian, yaitu untuk membekalinya dengan nasihat yang amat berharga:
“Bershabarlah sampai kamu menemuiku”
Maka Abu Dzar akan selalu ingat
kepada wasiat guru dan Rasul ini. Ia tiadalah akan menggunakan ketajaman pedang
terhadap para pembesar yang mengaut kekayaan dari harta rakyat sebagai
ancamannya dulu …,tetapi juga ia tidak akan bungkam atau berdiam diri walau
agak sesaat pun terhadap mereka!
Memang, seandainya Rasulullah saw.
melarangnya menggunakan senjata untuk menebas leher mereka, tetapi beliau tidak
melarangnya menggunakan lidah yang tajam demi membela kebenaran. Dan wasiat itu
akan dllaksanakannya …!
Masa Rasulullah berlalulah sudah,
disusul kemudian oleh masa Abu Bakar, kemudian masa Umar. Dalam kedua Khilafah
ini masih dapat dijinakkan sebaik-baiknya godaan hidup dan unsur-unsur fitnah
pemecah belah, hingga nafsu angkara yang haus dahaga tidak beroleh angin atau
mendapatkan jalan.
Ketika itu tidak terdapat
penyelewengan-penyelewengan yang akan mengakibatkan Abu Dzar bangkit menentang
dengan suaranya yang lantang dan kecamannya yang pedas. Telah lama berlaku
dalam pemerintahan Amirul Mu’minin Umar keharusan hidup sederhana dan menjauhi
kemewahan serta menegakkan keadilan bagi setiap pejabat dan pembesar Islam.
Begitu pun para hartawan di mana mereka berada, telah melaksanakan disiplin
ketat yang hampir saja tidak terpikul oleh kemampuan manusia.
Tiada seorang pun di antara
pejabatnya, baik di Irak, di Syria, Shan’a, atau di negeri yang jauh letaknya
sekalipun, yang memakan panganan mahal yang tidak terjangkau oleh rakyat biasa,
kecuali selang beberapa hari berita itu akan sampai kepada Umar dan perintah
keras pun akan memanggil pejabat yang bersangkutan menghadap Khalifah di
Madinah untuk menjalani pemeriksaan ketat.
Akan tenanglah Abu Dzar kalau
demikian …tenteram dan damai, selama al-Faruqul ‘adhim’) masih menjabat Amirul
Mu’minin …. Dan selama Abu Dzar dalam kehidupannya tidak diganggu oleh
kepincangan-kepincangan seperti penumpukan harta dan penyalahgunaan kekuasaan,
maka dengan pengawasan Umar ibnul Khatthab’ yang ketat terhadap fihak penguasa
dan pembagian yang merata terhadap harta, berarti telah memberikan kepuasan dan
kelegaan kepada dirinya …. Dan dengan demikian dapatlah ia memusatkan
perhatiannya dalam beribadat kepada Allah penciptanya dan berjihad di
jalan-Nya, tanpa sedikitpun hendak berdiam diri jika melihat
kesalahan-kesalahan di sana-sini, yang ketika itu memang jarang terjadi ….
Akan tetapi setelah khalifah
terbesar yang teramat adil dan paling mengagumkan di antara tokoh kemanusiaan
telah pergi, terasa adanya kehampaan dalam kepemimpinan. Bahkan hal tersebut
menimbulkan kemunduran yang tak dapat dikuasai dan dibatasi oleh tenaga
manusia. Sementara itu meluasnya ajaran al-Islam ke berbagai pelosok dunia
menumbuhkan kemakmuran hidup. Orang yang tidak dapat menahan godaan dunia
banyak yang terjerwmus ke daiam kemewahan yang melebihi batas.
Abu Dzar melihat bahaya ini ….
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan!
Panji-panji kepentingan pribadi hampir saja menyeret dan mendepak orang-orang yang tugasnya sehari-hari menegakkan panji-panji Allah. Dan dunia, dengan daya tarik serta tipu muslihatnya yang mempesona, hampir pula memperdayakan orang-orang yang mengemban risalah untuk menpergunakannya sebagai wadah untuk menyemai dan menanamkan kebajikan!
Dan harta yang dijadikan Allah
sebagai pelayan yang harus tunduk kepada manusia, cenderung berubah mupa,
menjadi tuan yang mengendalikan manusia.
Al-Faruqul ‘adhim, yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq, ialah gelar kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah saw.
Dan kepada siapa.. .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!
Al-Faruqul ‘adhim, yakni pemisah antara haq dan bathil yang perkssa. Al-Faruq, ialah gelar kepahlawanan Umar ibnul Khatthab yang dianugerahkan oleh RasululIah saw.
Dan kepada siapa.. .?
Tiada lain kepada shahabat-shahabat Muhammad saw., yang di waktu wafatnya baju besinya sedang tergadai, sementara gundukan upeti dan harta rampasan perang bertumpuk di bawah telapak kakinya!
Hasil kekayaan bumi yang sengaja
diperuntukkan Allah bagi semua ummat manusia, dengan menjadikan mereka
mempunyai hak yang sama, hampir berubah menjadi suatu keistimewaan dan hak
monopoli bagi mereka yang terbenam dalam kemewahan.
Dan jabatan, yang merupakan amanat
untuk dipertanggungjawabkan kelak di hadapan pengadilan ilahi, beralih menjadi
alat untuk merebut kekuasaan, kekayaan dan kemewahan yang menghancur binasakan.
Abu Dzar melihat semua ini. Ia tidak
memikirkan apakah itu menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Hanya ia
langsung menghunus pedang, meletakkannya ke udara dan membedahnya.
Kemudian ia bangkit berdiri dan
menantang masyarakat yang telah menyimpang dari ajaran islam dengan pedangnya
yang tak pernah tumpul itu. Tetapi secepatnya bergemalah dalam kalbunya bunyi
wasiat yang telah disampaikan Rasulullah ke padanya dulu. Maka dimasukkannya
kembali pedang itu ke dalam sarungnya, karena tiada sepantasnya ia akan
mengacungkannya ke wajah seorang Muslim.
Dan tidak ada haq bagi seorang
Mu ‘min untuk membunuh Mu ‘min lainnya kecuali karena keliru (tidak sengaja).
(Q,S. an-Nisa )
Bukankah dulu Rasulullah telah
menyatakan di hadapan para shakabatnya bahwa di bawah langit ini takkan pernah
lagi muncul orang yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar?
Orang yang memiliki bemampuan
seperti ini, berupa kata-kata tepat dan jitu, tidak memerlukan lagi senjata
lainnya. Satu kalimat yang diucapkannya, akan lebih tajam dan banyak hasilnya
daripada pedang walau sepenuh bumi.
Maka dengan senjata kebenarannya ia
akan pergi mendapatkan para pembesar, kaum hartawan; pendeknya kepada dunia
manusia yang cenderung menumpuk kekayaan yang membahayakan Agama, yakni Agama
yang sengaja datang untuk memberikan bimbingan dan bukan untuk memungut upeti,
sebab kenabian bukan suatu kerajaan, menjadi rahmat karunia bukan adab
sengsara, mengajarkan kerendahan hati bukan kesombongan diri, persamaan bukan
pengkastaan, kesahajaan bukan keserakahan, kesederhanaan bukan keborosan,
kedamaian dan kebijaksanaan dalam menghadapi hidup bukan terpedaya dan
mati-matian dalam mengejarnya…..!
Baiklah ia pergi mendapatkan mereka
semua, dan biarlah Allah menjadi hakim diantaranya dengan mereka, dan dialah
sebaik-baik hakim!.
Maka pergilah Abu Dzar menemui
pusat-pusat kekuasaan dan gudang harta, dan dengan lisannya yang tajam dan
benar merubah sikap mental mereka satu persatu. Dalam beberapa hari saja tak
ubahnya ia telah menjadi panji-panji yang di bawahnya bernaung rakyat banyak
dan golongan pekerja, bahkan sampai di negeri yang jauh yang penduduknya selama
itu belum pernah melihatnya.
Nama Abu Dzar bagaikan terbang
kesana…, dan tak satu daerah pun yang dilaluinya — bahkan walau barn namanya
yang sampai ke sans — menimbulkan rasa takut dan ngeri hati fihak penguasa dan
golongan berharta yang beulaku curang.
Seandainya penggerak hidup sederhana
ini hendak mengambil suatu panji bagi diri pribadi dan gerakannya, maka lambang
yang akan terpampang pada panji-panji itu tiada lain dari sebuah seterika
dengan baranya yang merah menyala. Sedang yang akan menjadi semboyan dan lagi
yang selalu diulang-ulangnya setiap waktu dan tempat, dan diulang-ulang pula
oleh para pengikutnya seolah-olah suatu lagu perjuangan, ialah kalimat-kalimat
ini:
“Beritakanlah kepada para penumpuk
harta,
yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka,
menyeterika hening dan pinggang mereka di hari qiamat”
yang menumpuk emas dan perak,
mereka akan diseterika dengan seterika api neraka,
menyeterika hening dan pinggang mereka di hari qiamat”
Setiap ia mendaki bukit, menuruni
lembah memasuki kota; dan setiap ia berhadapan dengan seorang pembesar, selalu
kalimat itu yang menjadi buah mulutnya. Begitu pun setiap orang melihatnya
datang berkunjung, mereka akan menyambutnya dengan ucapan: “Beritakan kepada
para penumpuk harta…!”
Kalimat ini benar-benar telah
menjadi panji-panji suatu missi yang menjadi tekad serta pendorong
dalarfi membaktikan hidupnya, demi dilihatnya harta itu telah ditumpuk dan
dimonopoli, serta jabatan disalahgunakan untuk memupuk kekuatan dan mengaut
keuntungan; serta disaksikannya bahwa cinta dunia telah merajalela dan hampir
saja melumari hasil yang telah dicapai di tahun-tahun kerasulan, berupa
keutamaan dan keshalihan, kesungguhan dan keikhlasan.
Abu Dzar menujukan sasarannya yang
pertama terhadap poros utama kekuasaan dan gudang raksasa kekayaan, yaitu
Syria, tempat bercokolnya Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang memerintah wilayali
Islam paling subur, paling banyak hasil bumi dan paling kaya dengan barang
upetinya. Mu’awiyah telah memberikan dan membagi-bagikan harta tanpa
perhitungan, dengan tujuan untuk mengambil hati orang-orang terpandang dan
berpengaruh, dan demi terjaminnya masa depan yang masih dirindukannya,
didambakan oleh keinginannya yang luas tidak terbatas ….
Di sana tanah-tanah luas,
gedung-gedung tinggi dan harta berlimpah telah menggoda sisa-sisa yang tinggal
dari pemikul da’wah, maka Abu Dzar cepat mengatasinya, sebelum hal itu
berlarut-larut, sebelum pertolongan datang terlambat hingga nasi telah menjadi
bubur.
Pemimpin gerakan hidup sederhana ini
pun berkemas-kemas, dan secepat kilat berangkat ke Syria. Dan demi berita itu
didengar oleh rakyat jelata, mereka pun menyambut Kedatangannya dengan
semangat menyala penuh kerinduan, dan mengikuti ke mana perginya.
“Bicaralah, wahai Abu Dzar!” kata
mereka: “bicaralah, wahai shahabat Rasulullah!” Abu Dzar melepaskan
pandang menyelidik ke arah orang-orang yang berkerumun. Dilihatnya kebanyakan
mereka adalah orang-orang miskin yang dalam kebutuhan. Lalu dilayangkan
pandangnya ke arah tempat-tempat ketinggian yang tidak jauh letaknya dari sana,
maka tampaklah olehnya gedung-gedung dan mahligai tinggi. Berserulah ia kepada
orang-orang yang berhimpun sekelilingnya itu:
“Saya heran melihat orang yang tidak
punya makanan di rumahnya, kenapa ia tidak mendatangi orang-orang itu
dengan menghunus pedangnya!”
Tetapi segera pula teringat olehnya
wasiat Rasulullah yang menyuruhnya memilih cara evolusi daripada cara revolusi,
menggunakan kata-kata tandas daripada senjata pedang. Maka ditinggalkannyalah
bahasa perang dan kembali menggunakan bahasa logika dan kata-kata jitu.
Diajarkannyalah kepada orang-orang itu bahwa mereka sama tak ubah bagai
gigi-gigi sisir …, bahwa semua mereka berserikat dalam rizqi …, bahwa tak ada
kelebihan seseorang dari lainnya kecuali dengan taqwa…, dan bahwa pemimpin
serta pembesar dari suatu golongan, haruslah yang pertama kali menderita
kelaparan sebelum anak buahnya, sebaliknya yang paling belakang menikmati
kekenyangan setelah mereka…!
Dengan ucapan serta keberaniannya.
Abu Dzar telah memutuskan untuk membentuk suatu pendapat umum di setiap negeri
Islam; hingga dengan kebenaran, kekuatan dan ketangguhannya menjadi kekangan
eerhadap para pembesar dan kaum hartawan, dan dapat mencegah munculnya suatu
golongan yang menyalahgunakan kekuasaan atau menumpuk harta kekayaan.
Dalam beberapa hari saja daerafi
Syria seakan berubah menjadi sel-sel lebah yang tiba-tiba menemukan ratu yang
mereka ta’ati. Dan seandainya Abu Dzar memberikan isyarat
untuk berontak, pastilah api pemberontakan akan berkobar. Tetapi sebagai telah
kita katakan tadi, niatnya hanya terbatas untuk membentuk suatu pendapat umum
yang harus dihormati, dan agar ucapan-ucapannya menjadi buah bibir di
tempat-tempat pertemuan, di masjid dan di jalan-jalan.
Bahaya terhadap perbedaan-perbedaan
yang timbul itu mencapai puncaknya, ketika ia mengadakan dialog dengan Mu’awiyah
di hadapan umum, di mana yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir dan
beritanya bagaikan terbang dibawa angin. Abu Dzar tampil sebagai orang yang
paring jitu ucapannya sebagai telah dilukiskan oleh Nabi sebagai gurunya.
Dengan tidak merasa gentar dan tanpa
tedeng aling-aling ditanyainya Mu’awiyah tentang kekayaannya sebelum menjadi
wall negeri dan kekayaannya sekarang …. Mengenai rumah yang dihuninya di Mekah
dulu, dan mahligai-mahligainya yang terdapat di Syria dewasa ini ….
Kemudian dihadapkannya pertanyaan
kepada para shahabat yang duduk di sekelilingnya, yaitu yang ikut bersama
Mu’awiyah ke Syria dan telah memiliki gedung-gedung serta tanah-tanah pertanian
yang luas pula. Lain ia berseru kepada semua yang hadir: “Apakah
tuan-tuan yang sewaktu Quran diturunkan kepada Rasulullah, ia berada di
lingkungan tuan-tuan”. Jawaban pertanyaan itu diberikannya sendiri, katanya:
“Benar, kepada tuan-tuanlah al-Quran diturunkan, dan tuan-tuanlah yang telah
mengalami sendiri berbagai peperangan!”
Kemudian diulangi pertanyaannya:
“Tidakkah tuan-tuan jumpai dalam al-Quran ayat ini”:
Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafqahhannya
di jalan Allah, bahura mereka akan
menerima sihsa yang pedih. Yhifu hetika emas
dan perak dipanaskan dalam api neraka, lain diseterikahan
he kening, ke pinggang dan ke punggung
mereka – sambil dikatakan –: Nah, inilah
dia yang kalian simpan untuk din kalian
itu, maha rasailah akibatnya!” (Q.S. At-Taubah:
Mu’awiyah memotong jalan
pembicaraannya, katanya: “Ayat ini diturunkan kepada
Ahlul Kitab!”, “tidak!”, seru Abu Dzar;
“bahkan ia diturunkan kepada kita dan kepada
mereka!”
Abu Dzar melanjutkan
ucapannya, menasihati Mu’awiyah dan para anak-buahnya
agar melepaskan gedung, tanah serta harta kekayaan
itu; dan tidak menyimpan untuk diri masing-masing
kecuali sekedar keperluan sehari-hari.
Berita tcntang Abu Dzar
dan seal jawab ini tersebar dari mulut
ke mulut, dari orang banyak ke orang
banyak. Semboyannya semakin nyaring terdengar
di rumah-rumah dan di jalan-jalan: “Sampaikan
kepada para penumpuk harta akan seterika-seterika
api neraka!”
Mu’awiyah sadar akan
adanya bahaya, ia cemas akan akibat
ucapan tokoh ulung ini. Tetapi ia pun
mengerti akan pengaruh dan kedudukannya, hingga
tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkannya.
Hanya dengan segera ditulisnya surat kepada
Khalifah Utsman r.a. mennaaaakin: “Abu Dzar
telah merusakorang-orang di Syria!”
Sebagai Jawabannya Utsman
mengirim surat meminta Abu Dzar datang ke
Madinah. Kembali Abu Dzar berkemas-kemas menyingsingkan
kaki celananya, lain berangkat ke Madinah.
Dan pada hari keberangkatannya itu, Syria menyaksikan
saat-saat perpisahan dan ucapan selamat jalan
dari khalayak ramai, suatu peristiwa yang luar
biasa yang belum pernah disaksikannya selama
ini…!
“Aku tidak memerlukan
dunia tuan-tuan ‘”
Demikianlah jawaban yang
diberikan oleh Abu Dzar kepada Utsman setelah
ia tiba di Madinah, yakni setelah berlangsung
diskusi yang lama antara mereka. Dari pembicaraan
dengan shahabatnya itu, dan berita-berita yang berdatangan
kepadanya dari seluruh pelosok yang menyatakan
dukungan sebagian besar rakyat terhadap pendapat
Abu Dzar, Utsman menyadari sepenuhnya bahaya
gerakan ini dan kekuatannya. Dari itu
ia mengambil keputusan akan membatasi langkahnya,
yaitu dengan menyuruh Abu Dzar tinggal di
dekatnya di Madinah.
Keputusan itu disampaikan
dan ditawarkan oleh Khalifah secara lunak lembut
dan bijaksana, katanya: “Tinggallah di sini di
sampingku! Disediakan bagimu unta yang gemuk,
yang akan mengantarkan susu pagi dan sore!”
“Aku tak perlu akan dunia tuan-tuan!”, ujar
Abu Dzar.
Benar, ia tidak memerlukan
dunia manusia…, karena ia termasuk golongan orang
suci yang mencari kekayaan ruhani dan
menjalani kehidupas untuk memberi dan bukan untuk
menerima! Dimintanyalah kepada khalifah Utsman
r.a. agar ia diberi idzin tinggal di Rabadzah,
maka diperkenankannya.
Dalam hangat-hangatnya gerakan
revolusi itu Abu Dzar tetap memelihara amanat
Allah dan Rasul-Nya, dan meresapkan sampai ke
tulang sum-sumnya nasihat yang diberikan oleh
Nabi saw. agar tidak menggunakan senjata. Dan
seolah-olah Rasulullah telah melihat semua yang
ghaib; terutama mengenai Abu Dzar dan masa depannya,
maka disampaikannyalah nasihat amat berharga itu.
Oleh sebab itu Abu
Dzar tak hendak menyembunyikan rasa terkejutnya
mendengar sebagian orang yang gemar menyalakan
fitnah, telah menggunakan ucapan dan da’wahnya
untuk memenuhi keinginan dan siasat licik
mereka. Pada suatu hari sewaktu ia sedang
berada di Rabadzah, datanglah perutusan dari
Kufah memintanya untuk mengibarkan bendera pemberontakan
terhadap khalifah. Maka disemburnya mereka dengan
kata-kata tegas sebagai berikut:
“Demi Allah, seandainya
Utsman hendak menyalibku di tiang kayu yang
tertinggi atau di atas bukit sekalipun,
tentulah saya dengar titahnya dan saya taati,
saya bershabar dan sadarkan diri, dan
saya merasa bahwa demikian adalah yang sebaik-baiknya
bagiku …!”
“Dan seandainya ia menyuruhku
berkelana dari ujung ke ujung dunia, tentulah
akan saya dengar dan taati, saya bershabar
dan sadarkan diri, dan saya merasa bahwa
demikian adalah yang sebaik-baiknya bagiku ..
.!”
“Begitu pun jika ia
meyuruhku pulang ke rumahku, tentulah akan saya
dengar dan taati, saya bershabar dan
sadarkan diri, dan saya merasa bahwa demikian
adalah yang sebaik-baiknya bagiku .. .!”
Itulah dia seorang pahlawan
yang tidak menginginkan sesuatu tujuan duniawi;
dan karena itu Allah melimpahinya “pandangan
tembus” hingga sekaii lagi ia melihat bahaya
dan bencana yang tersembunyi di balik pemberontakan
bersenjata maka dijauhinya.
Sebagaimana ia telah
meiihat apa akibatnya bila ia membisu
dan tidak buka suara yang tidak lain dari
bahaya dan bencana, maka dihindarinya pula. Lalu
ditariklah suaranya bukan pedangnya, menyerukan ucapan
benar dan kata-kata tegas, tanpa suatu keinginan
pun yang mendorong atau akibat yang akan
menghalanginya.
Abu Dzar telah mencurahkan
segala tenaganya untuk melakukan perlawanan secara
damai dan menjauhkan diri dari segala godaan
kehidupan dunia. Ia akan menghabiskan sisa
umurnya untuk melakukan penyelidikan yang lebih
dalam tentang harta dan kekuasaan, karena keduanya
mempunyai daya tarik dan pangkal fitnah yang
dikhawatirkan Abu Dzar terhadap kawan-kawannya yang
telah memikul panji-panji Islam bersama Rasulullah
saw dan yang harus tetap memikulnya untuk
seterusnya.
Di samping itu kekuasaan
dan harta merupakan urat nadi kehidupan bagi
ummat dan masyarakat, hingga bila keduanya
telah beres, maka nasib manusia pun akan
menghadapi bahaya besar.
Abu Dzar berkeinginan agar tak
seorang pun di antara shahabat Rasul menjadi pejabat atau pengumpul harta,
tetapi hendaklah mereka tetap menjadi pelopor kepada hidayah Allah dan pengabdi
bagi-Nya. Ia telah mengenali benar tipu daya dunia dan harta ini, dan menyadari
pula bahwa Abu Bakar dan Umar tak mungkin bangkit kembali. Telah pula
didengarnya Nabi shallallahu alaihi wasalam memperingatkan shahabat-shahabatnya
akan daya tarik dari jabatan ini dan dinasihatkannya:
” Ia merupakan amanat, dan di hari
kiamat menyebabkan kehinaan dan penyesalan …, kecuali orang yang mengambilnya
secara benar, dan menunaikan kewajiban yang dipikulkan kepadanya”
Demikian ketatnya Abu Dzar mengenai
hal ini, sampai-sampai ia menjauhi saudara dan handai taulannya, jika tak boleh
dikatakan memutuskan hubungan dengan mereka, disebabkan mereka telah menjadi
pejabat yang dengan sendirinya memiliki harta dan berkecukupan.
Pada suatu hari ia ditemui oleh Abu
Musa al-Asy’ari, dan demi dilihatnya Abu Dzar, maka dibentangkan kedua
tangannya sambil berseru kegirangan dengan pertemuan itu. “Selamat wahai Abu
Dzar …selamat wahai saudaraku!”; tetapi Abu Dzar bertiak, katanya: “Aku bukan
saudaramu lagi! Kita bersaudara dulu sebelum kamu menjadi pejabat dan
gubernur’”
Demikian pula ketika pada suatu hari
ia ditemui oleh Abu Hurairah yang memeluknya sambil mengucapkan selamat, Abu
Dzar menolakkan dengan tangan, katanya: “Menyingkirlah daripadaku, bukankah
kamu telah menjadi seorang pejabat; hingga terus-menerus mendirikan gedung,
memelihara ternak dan mengusahakan pertanian!” Abu Hurairah menyanggah dengan
gigih dan menolak semua desas-desus itu.
Yah, mungkin Abu Dzar bersikap
keterlaluan dalam pandangannya terhadap harta dan kekuasaan. Tetspi ia
mempunyai logika yang harus dikukuhkan dengan kebenaran dan keimanannya. Maka
Abu Dzar berdiri dengan cita-cita dan karyanya, dengan fikiran dan
perbuatannya, mengikuti pola yang telah dicontohkan bagi mereka oleh Rasulullah
dan kedua shahabatnya Abu Bakar dan Umar …
Dan seandainya sebagian orang
melihat, bahwa ukuran itu terlalu ideal yang tak mungkin dapat dicapai, tetapi
Abu Dzar menyaksikannya sebagai contoh nyata; yang telah menggariskan jalan
hidup dan usaha, terutama bagi pribadi yang hidup di masa Rasulullah; yakni
yang melakukan shalat di belakangnya, berjihad bersamanya dan telah mengambil
bai’at akan patuh dan mentaatinya.
Lagi pula, sebagaimana telah kita
kemukakan, dengan penglihatannya yang tajam ia melihat bahwa harta dan
kekuasaan itu mempunyai pengaruh menentukan terhadap nasib manusia.
Oleh sebab itu, setiap kebobrokan
yang menimpa amanat tentang keadilan dan kekuasaan dalam seal harta, akan
menimbulkan bahaya hebat yang harus segera disingkirkan!
Sepanjang hayatnya, dengan sekuat
tenaga Abu Dzar memikul panji contoh utama dari Rasulullah dan kedua
shahabatnya, menjadi penyangga dan sebagai orang terpercaya memeliharanya. Dan
ia menjadi maha guru dalam-seni menghindarkan diri dari godaan jabatan dan
harta kekayaan.
Pada suatu kali ditawarkan orang
kepadanya:sebuah jabatan sebagai amir(pemimpin) di Irak, katanya: “Demi Allah,
tuan-tuan takkan dapat memancingku dengan dunia tuan-tuan itu untuk
selama-lamanya!”
Kali yang lain, seorang kawan
‘melihatnya memakai jubah usang, maka katanya: “Bukankah anda masih punya baju
yang lain? Beberapa hari yang lewat saya lihat anda punya dua helai baju baru!”
Jawab Abu Dzar: ‘Wahai putera
saudaraku! Kedua baju itu telah kuberikan kepada orang yang lehih
membutuhkannya daripadaku!” Kata kawan itu pula: “Demi Allah! Anda juga
membutuhkannya!” Menjawablah Abu Dzar: “Ampunilah ya Allah ! Kamu terlalu
membesarkan dunia! Tidakkah kamu lihat burdah yang saya pakai ini? Dan saya
punya satu lagi untuk shalat Jum’at. saya punya seekor kambing untuk diperah
susunya, dan seekor keledai untuk ditunggangi! Ni’mat apa lagi yang lebih besar
dari yang kita miliki ini …?”
Pada suatu hari ia duduk
menyampaikan sebuah Hadits, katanya:
“Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara:
“Aku diberi wasiat oleh junjunganku dengan tujuh perkara:
Disuruhnya aku
agar menyantuni orang-orang miskin dan mendekatkan diri kepada
mereka. Disuruhnya aku melihat hepada orang yang di dibawahku dan bukan kepada
orang yang di atasku …. Disuruhnya aku agar tidak meminta sesuatu kepada oran
lain ,… Disuruhnya aku agar menghubungkan tali shilaturahmi …. Disuruhnya aku
mengatakan yang haq walaupun pahit Disuruhnya aku agar dalam menjalankan Agama
Allah, tidak takut celaan orang. Dan disuruhnya agar memperbanyak menyebut:
“Laa haula Walaa quwwata illaa billah “.
Sungguh, ia hidup menjalani wasiat
itu, dan ditempanya corak hidupnya sesuai dengan wasiat itu, hingga ia pun
menjadi hati nurani masyarakat dari ummat dan bangsanya. Berkata Imam Ali: “Tak
seouang pun tinggal sekarang ini yang tidak memperdulikan celaan orang dalam
menegakkan Agama Allah, kecuali Abu Dzar …!”
Hidupnya dibaktikan untuk menentang
penyalahgunaan kekuasaan dan penumpukan harta! Untuk menjatuhkan yang salah dan
menegakkan yang benar! Mengambil alih tanggung jawab untuk menyampaikan nasihat
dan peringatan!
Mereka larang ia memberikan fatwa,
tapi suaranya bertambah lantang, katanya kepada yang melarang itu:
“Demi Tuhan yang nyawaku berada di
tangan-Nya!
Seandainya tuan-tuan menaruh pedang
di atas pundakku, sedang menurut rasa hatiku masih ada kesempatan untuk
menyampaikan ucapan Rasulullah yang kudengar daripadanya, pastilah akan
kusampaikan juga sebelum tuan-tuan menebas batang leherku…!”
Wahai …. kenapa Kaum Muslimin tak
hendak mendengarkan nasihat dan tutur katanya waktu itu …! Seandainya mereka
dengarkan, pastilah fitnah yang berkobar dan berlarut-larut; yang menjerumuskan
pemerintah dan masyarakat Islam pada bahaya, padam dan mati dalam kandungan..,
Sekarang Abu Dzar sedang menghadapi
sakaratul maut di Rabadzah …, suatu tempat yang dipilihnya sebagai tempat
kediaman setelah terjadi perbedaan pendapat dengan Utsman radhiallahu anhu .
Nah, marilah kita mendapatkannya, untuk melepas kepergian orang besar ini, dan
menyaksikan akhir kesudahan dari kehidupannya yang luar biasa!
Seorang perempuan kurus yang
berkulit kemerah-merahan dan duduk dekatnya menangis. Perempuan itu adalah
isterinya. Abu Dzar bertanya kepadanya: “Apa yang kamu tangiskan padahal maut
itu pasti datang?” Jawabnya: “karena anda akan meninggal, padahal pada kita tak
ada kain untuk kafanmu!”
Abu Dzar tersenyum dengan amat ramah
— seperti halnya orang yang hendak merantau jauh — lain berkata kepada
isterinya itu:
“Janganlah menangis! Pada suatu
hari, ketika saya berada di sisi Rasulullah bersama beberapa orang shahabatnya,
saya dengar beliau bersabda: “Pastilah ada salah seorang di antara kalian yang
akan meninggal di padang pasir liar, yang akan disaksikan nanti oleh
serombongan orang-orang beriman.. .!”
Semua yang ada di Majlis Rasulullah
itu telah meninggal di kampung dan di hadapan jama’ah Kaum Mus~imin, tak ada
lagi yang masih hidup di antara mereka kecuali daku…. Nab, inilah daku sekarang
menghadapi maut di padang pasir, maka perhatikanlah olehmu jalan ….siapa tahu
kalau-kalau rombongan orang-orang beriman itu sudah datang! Demi Allah saya
tidak bohong, dan tidak pula dibohongi!”
Dan ruhnya pun kembali ke hadlirat
Allah ….
Dan benarlah, tidak salah ….
Kafilah yang sedang berjalan cepat
di padang sahara itu terdiri atas rombongan Kaum Mu’minin yang dipimpin oleh
Abdullah bin Mas’ud, shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasalam . Dan
sebelum sampai ke tempat tujuan, Ibnu Mas’ud telah melihat sesosok tubuh;
sesosok tubuh yang terbujur seperti tubuh mayat, sedang di sisinya seorang
wanita tua dengan seorang anak, kedua-duanya menangis.
Dibelokkannya kekang kendaraan ke
tempat itu, diikuti dari belakang oleh anggota rombongan. Dan demi pandangannya
jatuh ke tubuh mayat, tampak olehnya wajah shahabatnya; saudaranya seagama dan
saudaranya dalam membela Agama Allah, yakni Abu Dzar. Air matanya mengucur
lebat, dan di hadapan tubuh mayat yang suci itu ia berkata:
“Benarlah ucapan Rasulullah ….
Anda berjalan sebatang kara ….
mati sebatang kara ….
dan dibangkitkan nanti sebatang kara … ! ”
Anda berjalan sebatang kara ….
mati sebatang kara ….
dan dibangkitkan nanti sebatang kara … ! ”
Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu pun
duduklah, lalu diceritakan kepada para shahabatnya maksud dari pujian yang
diucapkannya itu:
“Anda berjalan seorang diri, mati
seorang diri dan dibangkitkan nanti seorang diri!”
Ucapan itu terjadi di waktu perang
Tabuk tahun kesembilan Hijrah …. Rasulullah saw. telah menitahkan untuk maju
memapak dan menghadang pasukan Romawi yang telah berkumpul di suatu tempat,
telah slap perang akan menggempur ummat Islam.
Kebetulan waktu Nabi menyerukan Kaum
Muslimin untuk berjihad itu, di saat musim susah dan panas terik. Tempat yang
akan dituju jaraknya amat jauh, sedang musuh menakutkan pula. Sebagian Kaum
Muslimin ada yang enggan ikut serta karena berbagai alasan.
Rasulullah dan para shahabatnya
berangkatlah diikuti oleh sebahagian orang setengah terpaksa karena enggan. Dan
bertambah jauh perjalanan mereka, bertambah pula kesulitan dan kesusahan yang
diderita.
Bila ada orang yang tertinggal di
belakang, mereka berkata:
“Wahai Rasulullah! si anu telah tertinggal”. Maka ujarnya:
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
“Wahai Rasulullah! si anu telah tertinggal”. Maka ujarnya:
“Biarkanlah! Andainya ia berguna, tentu akan disusulkan oleh Allah pada kalian. Dan andainya tidak, maka Allah telah membebaskan kalian daripadanya!”
Pada suatu kali, mereka melihat
berkeliling, kiuanya tiada tampak oleh mereka Abu Dzar. Maka kata mereka kepada
Rasulullah saw.: “Abu Dzar telah tertinggal, keledainya menyebabkan ia
terlambat”. Rasulullah mengulangi jawabannya tadi.
Keledai Abu Dzar memang telah amat
lelah disebabkan lapar dan haus serta terik matahari, hingga langkahnya menjadi
gontai.
Ada dicobanya dengan berbagai akal menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.
Ada dicobanya dengan berbagai akal menghalaunya agar berjalan cepat, tetapi kelelahan bagai merantai kakinya.
Abu Dzar merasa bahwa jika demikian ia akan ketinggalan jauh dari Kaum Muslimin hingga tak dapat mengikuti jejak mereka. Maka ia pun turun dari punggung kendaraannya, diambilnya barang-barang dan dipikul di atas punggungnya, lalu diteruskannya perjalanan dengan berjalan kaki. Dipercepatlah langkahnya di tengah-tengah padang pasir yang panas bagai menyala itu, agar dapat menyusul Rasulullah shallallahu alaihi wasalam dan para shahabatnya.
Di waktu pagi, ketika Kaum Muslimin
telah menurunkan barang-barang mereka untuk beristirahat, tiba-tiba salah
seorang dari anggota rombongan melihat dari kejauhan debu naik ke atas, sedang
di belakangnya kelihatan sosok tubuh seorang laki-laki yang mempercepat
langkahnya.
“Wahai Rasulullah!” kata orang yang
melihat itu, ” itu ada seorang laki-laki berjalan seorang diri!” Ujar
Rasulullah shallallahu alaihi wasalam :
“Mudah-mudahan orang itu Abu Dzar…!”
Mereka melanjutkan pembicaraan sambil menunggu pendatang itu selesai menempuh
jarak yang memisahkan mereka, di saat mana mereka akan mengetahui siapa dia.
Musafir mulia itu mendekati mereka
secara lambat, langkahnya bagai disentakkan dari pasir lembut yang membara,
sementara beban di punggung bagai menggantungi tubuhnya. Namun ia
tetap gembira penuh harapan, karena
berhasil menyusul kafilah yang dilingkungi barkah, dan tidak ketinggalan
dari Rasulullah saw. dan saudara-saudaranya seperjuangan. Setelah ia sampai
dekat rombongan, seorang berseru: “Wahai Rasulullah! demi Allah ia Abu Dzar”.
Sementara itu Abu Dzar menujukan langkahnya ke arah Rasulullah. Dan demi
Rasulullah melihatnya, tersungginglah senyuman di kedua bibir beliau, sebuah
senyuman yang penuh santun dan belas kasihan sabdanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya
kepada Abu Dzar.. .!
la berjalan sebatang kara ….
Meninggal sebatang hara….
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara … .!”
Meninggal sebatang hara….
Dan dibangkitkan nanti sebatang kara … .!”
Setelah berlalu masa dua puluh tahun
atau lebih dari hari yang kita sebutkan tadi, Abu Dzar wafat di padang pasir
Rabadzah sebatang kara …,setelah sebatang kara pula ia menempuh hidup yang luar
biasa yang tak seorangpun dapat menyamainya. Dan dalam lembaran sejarah, ia
muncul sebatang kara – yakni orang satu-satunya – baik dalam keagungan zuhud
maupun keluhuran cita…, dan kemudian di sisi Allah ia akan dibangkitkan nanti
sebagai tokoh satu-satunya pula, karena dengan tumpukan jasa-jasanya yang tidak
terpemadai banyaknya, tak ada lowongan bagi orang lain untuk berdampingan…!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar